🎆 Resensi Novel Hujan Bulan Juni

ResensiNovel Matahari: Petualangan Seru menuju Klan Titik Terjauh Judul Novel: Matahari. Penulis: Tere Liye. Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama. (Hujan Bulan Juni – hal. 90) Diposting oleh Yeti Islamawati, S.S. di 02.56 Tidak Senin 14 Oktober 2013. Resensi Novel Judul : 100 jam ULANGANBAHASA INDONESIA KELAS X MIPA-2 PETUNJUK: A. Kerjakan ulangan di kertas. Ini bertujuan, seandainya koneksi internet di Olehkarena itu, melalui resensi novel hujan bulan juni ini kita akan mengupas beberapa kelebihan dan kekurangannya, yaitu: Kritik sastra novel hujan bulan juni. Source: www.bukukita.com. Tidak mungkin, itulah frasa yang lebih cocok sepertinya. Hujan bulan juni karya sapardi djoko damono dan. Source: peniviapluviophile.blogspot.com Hujanmasih turun di bulan kedua tahun ini, selaksa kangen berbaur dengan rintiknya, 29/06/2022. Resensi Novel Komsi Komsa. Amir Harjo. Penulis Partikelir. 27/01/2022. Surat Ulang Tahun untuk Kekasih. Nasrulloh Alif Suherman. Mahasiswa. 20/09/2021. TebalBuku : 309 Halaman. 7. Harga Buku : Rp. 58.000. Padang Bulan adalah novel kelima Andrea Hirata setelah keempat novel tetralogi Laskar Pelangi yaitu Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov. Padang Bulan adalah bagian dari novel dwilogi-nya yaitu Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas yang tak kalah fenomenal dari novel-novel sebelumnya. Sinopsis Laskar Pelangi merupakan novel fiksi yang ditulis oleh Andrea Hirata. Novel tersebut mengisahkan tentang kehidupan 10 anak di Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung, yang saling bersahabat. Orang tua mereka memiliki profesi yang sama, yaitu penambang timah. Meski hidup di tengah kemiskinan, mereka tetap bersekolah untuk menimba ilmu. Sabtu 27 Juni 2015 Aku memilihmu sebagai hujan. Tuk basahi sudut Sudut hatiku yang mengering. Menyuburkan harapan dalam nadi sisa hidupku. Aku memilihmu sebagi hujan. Tuk meleburkan rindu . Yang setiap hari kupendam. Resensi Novel Dilan 2 (Dia adalah Dilanku Tahun 1991) Novelberjudul Khan El Khalili ini adalah salah satu karya sastrawan favorit saya. Yup, Naguib Mahfoudz, satu-satunya pengarang Arab yang diakui Dunia dengan penghargaan nobel sastra yang pernah diraihnya. Saya belum pernah menulis resensi di blog sebelumnya, namun kali ini saya ingin mengungkapkan isi dari novel yang sudah saya baca ini. i4TYk5t. September 23, 2022 413 am . 6 min read Sinopsis novel Hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Damono ini akan menceritakan seluk beluk tentang novel tersebut secara lengkap. Kamu bisa mengetahui sinopsis, intrinsik, ekstrinsik juga pesan moral yang terkandung di dalam novelnya. Selain itu kamu juga akan mengetahui kekurangan dan juga kelebihan dari novel tersebut. Untuk itu simak terus artikel ini sampai selesai agar kamu tidak ketinggalan informasi mengenai sinopsis novel Hujan Bulan Juni ini. Identitas Novel Hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Damono Judul NovelHujan Bulan JuniPenulisSapardi Djoko DamonoJumlah halaman135 halamanUkuran buku14×21 cmPenerbitPT Gramedia Pustaka UtamaKategorinovel fiksiTahun Terbit2013 Sinopsis Novel Hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Damono Sinopsis novel hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Damono ini mengisahkan tentang kisah percintaan Sarwono pria yang sederhana yang kaku. Dengan gadis cantik blasteran yang bernama Pingkan. Sarwono adalah seorang antropolog dan ia disibukkan dengan pekerjaannya sebagai peneliti. Sarwono mendapatkan tugas dari dosen seniornya. Dan karena interaksi yang cukup lama maka mereka akhirnya saling jatuh cinta. Uniknya cinta mereka dipenuhi dengan obrolan yang remeh dalam setiap kali pertemuan. Dan hal tersebutlah yang membuat suasana menjadi romantis diantara keduanya semakin berkembang. Namun, kisah cinta yang manis ini terhalang oleh sesuatu. Lalu apa sesuatu tersebut? Penasaran? Kamu bisa cari tahu sendiri jawabannya di novel Hujan Bulan Juni sendiri ya. Kelebihan Novel Hujan Bulan Juni Berikut merupakan kelebihan dari novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, diantaranya adalah Kelebihan pertama dalam novel ini yaitu memiliki konflik yang ini hanya mengisahkan kisah percintaan Sarwono dengan Pingkan. Namun, terdapat kendala yang menghalangi hubungan mereka terutama akibat perbedaan agama dan penulisan yang khas daro Sapardi Djoko Damono ini meski merupakan novel namun ditulis dengan gaya tulisan bercerita seperti sedang menyampaikan puisi. Dan itu kata-kata puitis yang indah dalam narasi kisah cinta dalam novel juga sangat mengapresiasi SDD yang di nilai melakukan riset yang cukup mumpuni untuk menulis novel ini. Padahal penulis sudah lansia namun ia tetap mengahdirkan unsur teknologi dalam cerita ini. Sehingga relevan dengan kisah cinta masa juga memberikan pesan tersirat tentang toleransi beragama dalam sebuah dapat menikmati setiap karakter yang ada di tokoh ini seperti malu tapi mau, sontoloyo. Kadang kala itu membuat pembaca senyum-senyum sendiri. Kekurangan Novel Hujan Bulan Juni Adapaun kekurangan novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, diantaranya adalah Kekurangan pertama dalam novel ini adalah terletak pada alurnya. Di mana alurnya itu terkesan ceritanya terjadi di waktu saat ini, namun kemudian tiba-tiba ada alur maju dan alur mundur. Dan setelah itu bisa saja melompat ke peristiwa lain yang berhubungan dengan masa depan. Dan ini cukup membingungkan adanya pemahaman tinggi dalam memahami kalimat jadul dan kental adat Jawa. Bagi mereka yang bukan berasal dari turunan Jawa mungkin akan kesulitan dalam memahami kalimat tersebutTidak adanya catatan kaki yang memuat terjemahan Bahasa Jawa tersebut sehingga membuat orang lain susah memahaminya. Unsur Intrinsik Novel Hujan Bulan Juni Berikut merupakan unsur intrinsik novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, di antaranya adalah 1. Tema Tema novel Hujan Bulan Juni ini menceritakan tentang kisah cinta Sarwono dan Pingkan yang berisi pahit dan manisnya yang terhalang berbagai macam, hal. Seperti perbedaan agama, suku, pertentangan dari keluarga dan hubungan jarak jauh. 2. tokoh dan Penokohan Sarwono, merupakan tokoh utama dalam novel yang merupakan lelaki cerdas, suka menulis puisi dan sangat gadis cantik dan baik dan keturunan blasteran Jerman dan merupakan kakak dari Pingkan dan merupakan sahabat dari tokoh tambahan lainnya dalam novel ini adalah Bu Pelenkahu, Katsuo, Matindas, Pak Hadi dan bu Hadi dan masih banyak lagi lainnya. 3. Alur Alur yang digunakan dalam novel ini adalah menggunakan alur maju dan juga alur mundur. Sehingga dapat di jelaskan bahwa dalam novel ini memiliki alur campuran. 4. Latar Waktu Latar waktu yang digunakan dalam novel Hujan Bulan Juni ini adalah pagi hari, siang hari dan malam hari. 5. Latar Tempat Latar tempat yang digunakan dalam novel ini adalah rumah Suwarno, Rumah Pingkan, Rumah Sakit, Kampus, Kantin, dan lain-lain. 6. Sudut Pandang Sudut pandang yang terdapat dalam novel Hujan Bulan Juni ini menggunakan sudut pandang orang ketiga. 7. Gaya Bahasa Gaya bahasa yang digunakan dalam novel Hujan Bulan Juni ini menggunakan gaya bahasa khas penulis dimana penyampaian ceritanya seperti membacakan puisi. 8. Amanat Amanat yang terkandung dalam novel Hujan Bulan Juni ini adalah bahwa nasib memang di serahkan kepada manusia untuk diperjuangkan. Namun, takdir juga harus di tandatangani di atas materai dan tak boleh di ganggu gugat jika terjadi sesuatu nantinya. Meskipun baik ataupun buruk. Kisah cinta Sarwono dan Pingkan ini mengajarkan kita untuk senantiasa menghargai kepercayaan masing-masing perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang. Jadi jangan menilai perbedaan sebagai hal yang buruk. Unsur Ekstrinsik Novel Hujan Bulan Juni Setelah memahami unsur intrinsiknya kita juga perlu mengetahui unsur ekstrinsik dari novel Hujan Bulan Juni, diantaranya adalah 1. Nilai Sosial Nilai sosial yang terkandung dari novel ini adalah sikap Sarwono dan Pingkan yang dekat tidak memandang agama, suku, ataupun penampilan. Tapi mereka dekat kerana cinta dan nyaman. Hal ini mengajarkan kepada kita jangan jadikan sebuah perbedaan menjadi penghalang kamu untuk tidak bersosialisasi dengan baik dengan orang lain apalagi bersikap acuh tak acuh. 2. Nilai Moral Nilai moral yang terkandung dalam novel ini mengajarkan toleransi sebagai umat beragama. Dimana saling menghargai agama masing-masing seperti yang dilakukan oleh Sarwono dan Pingkan. 3. Nilai Agama Sebagai penganut agama yang cukup taat Sarwono mengetahui batasan-batasannya dalam menjalin sebuah hubungan. Meski itu bukan alasan dari mereka berpisah namun yang ia lakukan itu telah benar. Kepercayaan bukan hanya sebuah identitas di KTP saja. Namun, juga harus dengan hati, tindakan, dan perilaku tentunya. Pesan Moral Novel Hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Damono Bagian terakhir dari sinopsis novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono ini adalah pesan moral yang terkandung dalam novel tersebut. Pesan moral yang terkandung dalam novel ini adalah kisah cinta Sarwono dan Pingkan ini mengajarkan kita untuk senantiasa menghargai kepercayaan masing-masing perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang. Jadi jangan menilai perbedaan sebagai hal yang buruk. Selain itu novel ini mengajarkan kita untuk bisa menerima takdir. Nasib memang di serahkan kepada manusia untuk diperjuangkan. Namun, takdir juga harus di tandatangani di atas materai dan tak bisa di ganggu gugat jika terjadi sesuatu nantinya. Meskipun baik ataupun buruk. Ditulis oleh Ridea Nataria di untuk program ResensiPilihan di Twitter bukugpu Hujan Bulan Juni adalah buku pertama dari trilogi “Hujan Bulan Juni” yang terinspirasi dari buku kumpulan sajak dengan judul yang sama karya Sapardi Djoko Damono yang diterbitkan kembali oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2013 silam. Novel ini mengisahkan tentang “hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang.”Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu// Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya puisi yang mungkin terdengar tak asing tersebut adalah bagian dari sajak “Aku Ingin” dalam kumpulan sajak Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. 21 tahun berselang sejak salah satu karya paling romantis itu, lahirlah sebuah novel berjudul sama. Satu akar, lain pohon. Itu mungkin perumpamaan yang tepat untuk novel ini, terutama jika menimbang judul dan sampulnya yang penyair sekaligus pengarangnya sendiri, lebih suka menyebutnya sebagai proses perpindahan bentuk yang kreatif. Yang terpenting, beliau juga menegaskan masing-masing sebagai karya yang berdiri sendiri. Faktanya, keduanya memiliki keistimewaan berbeda meski membawa pesan yang sama, yakni cinta yang habis-habisan tapi tidak egois. Cinta yang berusaha memberi dan menyokong, bukan menuntut dan kumpulan sajaknya kerap dipandang kental dengan persoalan sentimental, novel Hujan Bulan Juni mengemas aliran emosi bernama cinta menjadi lebih lugas dan nyata. Larik-larik puisi yang menggetarkan hati itu diramu kembali dalam wujud tali kasih dua anak manusia yang terhalang jarak, suku, dan adalah seorang antropolog, Jawa, dan muslim. Pingkan adalah seorang Jawa-Menado dan penganut Katolik yang menekuni bahasa Jepang. Keduanya saling mengasihi dan mendukung. Kadang dengan ungkapan paling sederhana, lain waktu dengan perasaan yang tumpah ruah. Namun rupanya hubungan itu tidak selalu berjalan mulus. Perbedaan latar belakang suku dan agama antara keduanya yang mulai memicu pertentangan keluarga mereka menjadi akar kebimbangan yang menghinggapi hati kedua sejoli tersebut. Masalah pun semakin pelik ketika tiba saatnya mereka dipisahkan jarak karena Pingkan memperoleh kesempatan belajar di luar dari sekedar kisah romansa kebanyakan, Hujan Bulan Juni secara tidak langsung turut menyoroti dan mengkritik isu diskriminasi dalam masyarakat yang bersumber dari perbedaan suku dan agama. Dalam hal ini, novel tersebut menggarisbawahi tentang stigma kesukuan dan keagamaan yang masih begitu kuat di tengah masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Konflik yang tersirat antara kedua keluarga dalam cerita seolah menegaskan penolakan terhadap kawin campur antara pihak yang berlainan suku dan keyakinan. Sebaliknya, Sapardi mencoba mengajak para pembacanya menyikapi topik serius itu dengan nalar dan kepala dingin, sebagaimana ditunjukkan BatinTerlepas dari segala ekspektasi yang membebaninya, novel Hujan Bulan Juni melenggang di panggung sastra dengan caranya sendiri. Salah satu karakteristik yang membuatnya tampil berbeda dari mayoritas novel kontemporer saat ini adalah penggunaan gaya narasi monolog yang kurang akrab, monolog batin yang juga dikenal sebagai stream of consciousness atau interior monologue merupakan teknik/gaya menulis yang mengusung konsep arus kesadaran di mana para tokoh digambarkan mengungkapkan pikiran dan perasaannya seakan-akan sedang bicara pada dirinya sendiri. Teknik ini mulai dipakai sejak akhir abad ke-19 di antara kalangan sastrawan modern Amerika seperti Henry James, James Joyce, William Faulkner, dan Virginia Woolf. Di tanah air sendiri, salah satu pengarang yang lekat dengan aliran tersebut adalah Putu umum, penggunaan monolog batin dalam sebuah karya sastra mendorong pembaca untuk terus terlibat dalam teks, dan oleh karena itu dapat memperoleh perspektif yang lebih tajam sekaligus realistis. Melalui kalimat-kalimat panjang, pengarang justru melipat baca memperkecil jarak antara pembacanya dengan tokoh-tokoh dalam cerita. Di samping itu, monolog batin juga memungkinkan adanya pemahaman yang lebih komprehensif terhadap tokoh, kejadian, dan gagasan dalam suatu cerita, bahkan latar belakang sebuah karya kasus Hujan Bulan Juni, monolog batin yang merangkai keseluruhan cerita bukan semata dimaksudkan untuk menggelitik rasa ingin tahu. Lebih dari itu, monolog batin menjadi alat sang sastrawan untuk tujuan yang serius seperti menyisipkan kritik kondisi sosial hingga yang dianggap sepele seperti memperkuat satu contoh penggunaan monolog batin yang dianggap paling tidak lumrah’ dalam novel ini adalah untuk menggambarkan pikiran dan perasaan yang terus mengalir. Dalam hal ini, sang pengarang ingin pembacanya menikmati imaji dan persepsi dengan seleluasa mungkin. Oleh karena itu, tidak dijumpai tanda baca di antara kalimatnya seperti yang tampak pada halaman 44-45 buku kali ini mereka menyadari bahwa kasih sayang yang mengungguli segalanya menembus apa pun yang tidak bisa dipahami oleh pengertian pinggir jalan tidak akan bisa dicapai tidak bisa dibincangkan dengan teori metode dan pendekatan apa pun…bahwa kasih sayang ternyata tidak pernah menawarkan kesempatan untuk tanya-jawab yang tak berkesudahan bahwa kasih sayang ternyata sebuah ruang kedap suara yang merayakan senyap sebagai satu-satunya harap…Dengan deskripsi yang terkesan acak dan tak beraturan tersebut, Sapardi justru memperkaya definisi kasih sayang dan memberinya bentuk’. Kasih sayang bukan lagi hanya rasa melainkan menjelma sebagai hal yang dapat dilihat, disentuh, didengar bahkan memiliki dimensi dan dapat bergerak. Kasih sayang menjadi sebuah pengalaman naratif yang anonim namun pada saat yang sama, kolektif. Sayangnya, tidak sedikit pembaca yang memandang janggal penggunaan monolog batin seperti ini. Mereka umumnya mudah kehilangan fokus dan perhatian di antara barisan kalimat yang seperti tak berujung sisi lain, Sapardi juga banyak memposisikan monolog batin sebagai medium untuk mengungkapkan watak para tokohnya secara tidak langsung. Gaya monolog yang dipakai tampak cukup bervariasi antar satu tokoh dengan lainnya. Pergumulan pikiran Sarwono, sang tokoh utama, misalnya selalu cenderung jenaka dan itu medium, dan medium itu dukun, bisiknya berulang kali kepada dirinya sendiri sambil batuk kecil, tanpa curiga bahwa ada orang yang menoleh padanya mendengar suara bisikannya dan mungkin menganggap isi otaknya kurang seperempat. Hujan Bulan Juni, Hal. 4Dalam pemahaman yang serupa, monolog batin juga dimanfaatkan untuk menyiratkan isu sosial yang serius. Melalui opini spontan nan santai yang dilontarkan tokoh Sarwono seputar perbedaan suku dan status, SDD dengan piawai menyampaikan kritiknya terhadap konstruksi sosial yang terbentuk di tengah masyarakat tanah air. Meski tidak menyuarakan kritik sosial politiknya dengan lantang seperti sejumlah karya kontemporer lainnya, toh pada akhirnya novel ini tetap berhasil mempertahankan esensinya untuk membawa isu diskriminasi ke pernah bilang dari mana pun asal usul Ibu terserah, bukan masalah, asal tidak dari Neraka.” Toar diam sejenak menahan tawa. Tampaknya. Sarwono berpikir, ternyata yang bisa melucu bukan hanya orang Jawa yang namanya Basiyo. Orang Menado juga bisa. Ia yakin, selama masih bisa melucu orang berhak menjadi anggota masyarakat terhormat yang disebut intelektual – gerombolan orang cerdas. Hujan Bulan Juni, Hal. 18Terakhir, monolog batin juga berperan sebagai benang merah yang merangkai keseluruhan cerita Hujan Bulan Juni. Kendati tampaknya tidak saling terkait, semua narasi dan obrolan acak yang menghiasi monolog dan dialog para tokohnya membawa satu pesan yang sama yakni kasih sayang. Persoalan Jawa, Manado, liyan, legenda Pingkan dan Matindas, Jakarta hingga ronin dan sakura nyatanya hanya sekelumit subyek yang dipakai untuk menegaskan cinta yang habis-habisan’ antara kedua tokoh utama. Bahkan perkara sikap cengeng dan zadul Sarwono, adalah pernyataan tegas dan gamblang Pingkan yang mencintainya secara utuh termasuk kekurangannya’.Kamu ini cengeng, Sar, jualan gombal.” komentar Pingkan ketika pertama kali membaca sajak itu di sebuah majalah yang dipamerkan Sarwono. Tidak ada, rasanya, ucapan yang lebih disyukurinya. Ia suka dianggap cengeng hanya kalau yang mengucapkannya Pingkan, sebab ya memang cengeng-mau apa lagi. Hujan Bulan Juni, Hal. 11Novel Hujan Bulan Juni bukanlah tentang hujan, apalagi bulan Juni. Sebaliknya, novel ini merupakan penerjemahan puisinya yang termashyur. Rekaman wujud dan imaji kasih sayang dengan kepekaan, kepenuhan, dan kesederhanaan, bukan sebatas pepatah jangan nilai buku dari sampulnya, novel Hujan Bulan Juni adalah kasus ideal yang menggambarkan himbauan jangan nilai buku dari judulnya. Adalah kekecewaan besar bahwa sebagian pembaca mengartikan judulnya mentah-mentah dan berujung menyimpulkan buku ini melenceng dari ekspektasi karena tidak ada hujan dan bulan Juni. Agaknya tidak semua pembaca berhasil menangkap benang merah kuat antara novel yang berjudul serupa dengan puisinya yang termashyur. Apa pun pendapat dan penafsiran yang muncul, pada akhirnya sastra adalah perkara yang sangat subjektif, baik pengarang dan kata, buku yang pernah meraih nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa untuk Kategori Prosa ini memang cukup berbeda dari novel pada umumnya. Menghibur dan santai di satu sisi, namun juga menggelitik rasa ingin tahu dan kaya esensi di lain pihak. Puisi yang menjelma menjadi lagu kemudian komik lalu novel dan nantinya film layar itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh panas, kata Pingkan kepada dirinya sendiri sambil mengingat-ingat wajah Sarwono ketika melambaikan tangan dari balik klise yang bersikeras untuk menjelma kembali ke habitatnya yang purba sebagai larik puisi. Pingkan selalu menarik napas dalam-dalam setiap kali mengucapkan itu diam-diam sambil menambahkan, Jakarta itu kasih sayang. Hujan Bulan Juni, Hal. 125 Cover Novel Hujan Bulan Juni gambar Hujan Bulan Juni – Sebuah novel karya Sapardi Djoko Damono yang diterbitkan oleh Gramedia pada Juni 2015. Novel setebal 135 halaman ini menceritakan tentang kehidupan antara dua sejoli Sarwono & Pingkan yang penuh liku. Di dalam tulisannya, Sapardi Djoko Damono tetaplah memunculkan ciri khasnya yang lihai dalam membuat kalimat. Banyak kalimat yang terbaca seperti sebuah syair dalam setiap percakapan. Muncul juga beberapa kalimat percakapan yang menggunakan bahasa Jawa pada di dalam novel ini. Disisipkan juga beberapa bait puisi yang menambah bumbu romantika dalam sebuah kehidupan dan hubungan. Novel Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono Judul Hujan Bulan JuniPenulis Sapardi Djoko DamomoPenerbit Gramedia Pustaka UtamaTahun Terbit Juni 2015ISBN 9786020318431Tebal 135 Halaman Sosok Sarwono adalah dosen muda yang mengajar Antropolog yang lihai dalam membuat baitan puisi memenuhi sudut surat kabar ini menjalin hubungan dengan Pingkan, Pingkan sendiri merupakan dosen muda di prodi Jepang. Pada dasarnya mereka sudah kenal sejak lama, apalagi Sarwono sendiri adalah teman dari kakak Pingkan, Toar. Mereka pun bingung sampai kapan hubungan ini dapat berlanjut ke pernikahan. Sebuah prosesi yang membutuhkan pemikiran dan tahap lebih dewasa. Sementara pada saat ini, mereka masih asyik dengan status pacaran sekarang. Ada banyak likuan hidup yang dihadapi Sarwono dengan Pingkan. Terlebih mereka adalah sosok yang berbeda dari kota, budaya, suku, bahkan agama. Sarwono yang dari kecil hidup di Solo, sudah pasti orang Jawa. Sedangkan Pingkan adalah campuran antara Jawa dengan Menado. Ibu Pingkan adalah keturunan Jawa yang lahir di Makassar, sedangkan bapak Pingkan berasal dari Menado. Di sini mereka berdua tidak mempersoalkan apa itu suku beda, ataupun keyakinan yang berbeda. Ya Sarwono yang sangat taat pada agamanya Islam, dan sosok Pingkan yang juga meyakini agama Kristen sepenuh hati. Permasalahan tentang agama ini dicuatkan oleh keluarga besar Pingkan yang di Menado. Dengan berbagai cara mereka selalu bertanya pada Pingkan tentang hubungannya dengan Sarwono. Pertanyaan yang terlihat berniat menyudutkan, berharap Pingkan tidak melanjutkan hubungan dengan Sarwono. Harapan keluarga besarnya adalah dia menikahi sosok dosen muda yang pernah kuliah di Jepang dan sekarang mengajar di Manado. Sosok pemuda yang dari dulu juga menaksir Pingkan. Namun dengan berbagai upaya, Pingkan tetap bersikukuh mempertahankan hubungan itu dengan serius. Bahkan, dia berencana kalau menikah akan meninggalkan Menado dan tinggal selamanya di Jakarta. Tempat dia berkerja sebagai dosen. Hubungan asmara Pingkan dan Sarwono ini tidak hanya mendapatkan aral dari keluarga besar Pingkan saja. Ketika Pingkan berhasil mendapatkan beasiswa ke Jepang, Sarwono merasa kehilangan dan ketakutan. Ketakutannya bukan dari keraguannya atas cinta Pingkan, namun lebih pada kehidupan dan orang yang ada di Jepang. Yah, di Jepang ada sosok sontoloyo Katsuo. Katsuo sendiri adalah dosen Jepang yang pernah kuliah di UI, tempat Sarwono dan Pingkan mengajar sekarang. Dan selama di Indonesia, Katsuo sangat dekat dengan Pingkan. Tidak hanya alur tentang bagaimana Sarwono menahan diri dan meyakinkan dirinya sendiri kalau Pingkan tetap setia padanya. Di sini juga ada cerita bagaimana Sarwono harus kuat melawan batuk yang tidak berkesudahan. Batuk yang pada akhirnya membuat dia harus terkapar di pembaringan Rumah Sakit. Ada juga kisah tentang arti dari penamaan Pingkan, ya nama Pingkan diambil dari sebuah cerita yang sudah melegenda di Menado. Berikut beberapa kutipan kalimat ataupun puisi yang ada di dalam novel ini; “Tanpa aku kirim pun, karena puisi itu shaman tentu pesannya sudah sampai ke Kyoto. Ia merasa puas dengan pernyataannya sendiri – Halaman 8” “Apa dosa dan salahku maka aku telah mencintai laki-laki Jawa yang sering zadul mikirnya ini? – Halaman 36” “Yang aku cintai adalah Matindas yang lain-Tuama Minahasa yang bisa menaklukkan hatiku – Halaman 57” Katamu dulu kau takkan meninggalkanku Omong kosong belaka! Sekarang yang masih tinggal Hanyalah bulan Yang bersinar juga malam itu Dan kini muncul kembali Hujan Bulan Juni – Halaman 94 Kita tak akan pernah bertemu; Aku dalam dirimu Tiadakah pilihan Kecuali di situ? Kau terpencil dalam diriku Hujan Bulan Juni – Halaman 133 Sungguh alur cerita yang sulit untuk ditebak. Tulisan yang membuat pikiran melayang-layang seperti seorang penyair yang pandai memuji, namun kerap kali terlihat rapuh dan mudah meneteskan airmata. Pergolakan hati yang terus bertanya bagaimana mungkin aku bisa tetap meyakinkan diri ini dalam suatu hubungan, kalau kenyataannya kita sekarang berjauhan. Novel ini benar-benar membuat kita terhanyut dalam alurnya ketika sedang membaca. Aku rekomendasikan untuk membaca novel ini dan memilikinya, sebuah novel dengan cara penulisan yang berbeda serta penuh syair di setiap kalimatnya.

resensi novel hujan bulan juni